Bagian 6

…[dari Bag.5]… Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran.”  …[..]…

Debat Soal Tuhan

Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal.

Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.

Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.

” Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.

Sunan Bonang pun berkata, ” Kau ini bangsa hantu.

Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong.

” Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Hantu,” kata Buta Locaya

Sunan Bonang berkata, Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.

Ki Kalamwadi berkata : ” Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.

Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.

Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling.”

Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.

Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.

Buta Locaya marah lagi. ” Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?”

” Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin.”

Kata Buta Locaya, ” Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani.

Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia.

Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.

Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia.”

Sunan Bonang Khilaf Buta Locaya berkata, ” Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ?

Mendapat wahyu agar pandai. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan.

Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh.

Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.

Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini.

Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang ?

Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid hamba.”

Sunan Bonang : ” Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan.”

Buta Locaya berkata, ” Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba.

Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado.”

Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata : ” Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. [ Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.] Sudah, aku akan pulang ke Bonang.”

Buta Locaya berkata, ” Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air.”

Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh

Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilaya itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.

Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu kemana. Berikut babak lanjutan dari Serat Darmogandhul.

Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan meyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh.

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.

Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu ke Majalengka.

Kata Sunan Bonang, ” Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.

Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya.”

Provokasi

Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang.

” Saya takut merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun kafir.”

Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata, ” Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.

Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.

Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.

Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah.

Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa Putri Cina.

Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak baik.

Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya.”

Kemudian, Sunan Giri menyambung, ” Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka. Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan anjing.

Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga.

Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini.”

Jawab sang Adipati Demak, ” Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak meyadari makan minum di Pulau Jawa.”

Namun, Sunan Bonang berkata lagi, “Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging.

Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha.”

Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau merusak Majalengka.

Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena kafir.

….[Bersambung ke Bag.7]…

Leave a comment